Pujasera Kawasan Industri Muka Kuning Batam dipenuhi oleh ratusan karyawan yang sedan beristirahat setelah setengah harian bekerja. Ada yang memang makan siang dan tak sedikit pula yang hanya duduk-duduk bersama teman-temannya melepaskan kepenatan dan kejenuhan dari aktifitas pekerjaan yang membuat semua oran tertekan. Sambil minum Kopi "O" atau Kopi "Obeng sambil bersenda gurau cukuplah untuk meringankan beban dan tekanan dari pekerjaan pabrik.
Diantara riuh rendahnya percakapan para karyawan pabrik itu terlihat seorang anak berumur 10-an tahun berjalan dari meja ke meja. Ditangan kirinya ada setumpuk koran, sedang tangan kanannya menggengam satu koran sambil menawarkannya ke setiap kumpulan orang-orang yang sedang asyik ngobrol dan bersenda gurau. Akhirnya anak itu sampai juga di meja tempatku sedang mengopi bersama temanku yang sedang asyik membahas masalah IHSG yang sedang terjun bebas akibat harga minyak dan pangan dunia yang melambung serta kasus subprime mortgage yang menyeret negara adidaya ke dalam resesi ekonomi, sehingga efeknya investasi kami direksadana pun ikut tergerus.
"Koran Om", anak itu mulai menawarkan korannya dengan wajah penuh harap.
"Berapa?' temanku Andrias sepertinya kasihan melihat anak penjual koran itu.
"Seribu saja, Om". mata anak itu mulai berbinar.
"Dik, kamu nggak sekolah?", Aku penasaran, anak seumur dia seharusnya jam segini masih di sekolah.
"Nggak Om", Jawab anak itu tanpa ekspresi.
"Kenapa kok nggak sekolah?", pertanyaanku sepertinya membuat anak itu tak nyaman dan mulai malu.
"Nggak ada biaya, Om", jawab anak itu sambil cepat-cepat meninggalkan meja kami setelah mendapatkan lembaran uang 1000 dari Andrias.
Aku terhenyak oleh jawaban anak itu. Andai saja janji calon bupati dan calon gubernur yang katanya akan membuat pendidikan gratis benar-benar dilakukan. seharusnya anak penjual koran itu tidak berkeliling menjajakan koran di jam sekolah. Ternyata gratis menurut pemerintah adalah SPP nya saja yang gratis, Yang ternyata hanya senilai 8000 rupiah saja. Tapi selain uang SPP masih banyak lagi yang harus dibayarkan mulai dari buku-buku pelajaran, LKS, kegiatan ekstrakurikuler, Les, seragam sekolah yang bermacam-macam motifnya belum lagi ada iuran komite. Dulu ketika saya masih sekolah selalu berburu buku-buku bekas kakak kelas setiap habis penerimaan rapor kenaikan kelas. karena dahulu buku-buku pelajaran masih bisa dipakai hingga bertahun-tahun berikutnya. Sedangkan sekarang buku-buku pelajaran sekolah selalu berganti tiap tahun dan terkadang harus dibeli ditempat murid itu sekolah. Lucunya lagi, sekarang ini banyak guru-guru yang bertindak sebagai penjual buku pelajaran. Ini tentu saja sangat memberatkan keluarga miskin. Jangankan untuk membayar aneka macam atribut sekolah diatas. Sedangkan untuk bisa makan dengan tahu dan tempe dihari ini saja sudah sangat berat bagi mereka.
Dan kalau saja seluruh masyarakat Indonesia mempunyai kesadaran bahwa anak-anak miskin seperti diatas adalah juga tanggung jawab kita untuk memberdayakan mereka mungkin hal itu akan menjadi jauh lebih baik dibandingkan bila kita hanya menyalahkan pemerintah yang kurang begini dan begitu. Bahwa sebenarnya sudah banyak wadah yang bisa kita pakai sebagai saluran tempat kita untuk membantu memberdayakan saudara kita yang kurang beruntung tersebut, seperti halnya sudah di perintah dalam agama Islam untuk menzakatkan sebagian hartanya minimal 2.5% bila sudah masuk nishafnya. Belum lagi begitu banyak yayasan Yatim piatu, yayasan sosial, ada lagi infaq by request , Gerakan Orang tua Asuh, sampai dengan orang tua asuh by request. Sangat banyak bukan yang sebenarnya bisa dilakukan dari pada sekedar menyalahkan pemerintah yang tidak becus ini dan itu. Dan ada satu lagi tindakan yang seharusnya sangat mudah dilakukan, Jangan pernah memberikan sedekah kepada peminta-minta, pengamen atau apapun itu yang selalu mengharapkan belas kasihan. Karena bila kita memberikan pertolongan dalam bentuk itu, sesungguhnya kita bukan menolong mereka tetapi semakin menjerumuskan mereka kedalam jurang kemalasan, kemanjaan dan semakin terkungkung didalam ketidakmampuannya.
Dan kalau saja setiap orang yang ada dalam kondisi terpinggirkan, terbelenggu dalam kemiskinan dan ketidakmampuannya yang lain, selalu masih punya semangat dan kemauan untuk selalu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Seandainya mereka sadar bahwa hidupnya yang sekarang bukan sebuah guratan nasib untuk selamanya. Jikalau mereka tetap berpikir positif bahwa itu hanyalah sebuah proses yang harus dijalani dan bukan sebuah harga mati sehingga mereka tetap selalu belajar dan berusaha untuk membalikan kondisi hidup yang papa menjadi kehidupan yang lebih baik. Karena belajar tidak selalu dalam dunia formal tapi kita juga bisa belajar dari pengalaman dan jalan hidup yang kita lalui dan selalu berusaha untuk menjadikan saat ini harus lebih baik dari kemarin, serta hari esok lebih baik dari saat ini. Dan selalu berusaha mandiri untuk tidak hanya menggantungkan dari belas kasih dan pertolongan orang lain, tidak selalu mengharapkan pemerintah untuk membuat kebijakan yangi bisa mengankat kemiskinannya. Serta selalu berpikir bahwa kehidupannya adalah tanggung jawabnya sehingga sadar yang bisa merubah hanya diri mereka sendiri.
MAKA.........suatu saat nanti kita tidak akan lagi melihat pemandangan yang sekarang ini banyak terpampang disekitar kita. Sehingga kita akan lebih bangga lagi mengatakan bahwa ini adalah INDONESIA.
Diantara riuh rendahnya percakapan para karyawan pabrik itu terlihat seorang anak berumur 10-an tahun berjalan dari meja ke meja. Ditangan kirinya ada setumpuk koran, sedang tangan kanannya menggengam satu koran sambil menawarkannya ke setiap kumpulan orang-orang yang sedang asyik ngobrol dan bersenda gurau. Akhirnya anak itu sampai juga di meja tempatku sedang mengopi bersama temanku yang sedang asyik membahas masalah IHSG yang sedang terjun bebas akibat harga minyak dan pangan dunia yang melambung serta kasus subprime mortgage yang menyeret negara adidaya ke dalam resesi ekonomi, sehingga efeknya investasi kami direksadana pun ikut tergerus.
"Koran Om", anak itu mulai menawarkan korannya dengan wajah penuh harap.
"Berapa?' temanku Andrias sepertinya kasihan melihat anak penjual koran itu.
"Seribu saja, Om". mata anak itu mulai berbinar.
"Dik, kamu nggak sekolah?", Aku penasaran, anak seumur dia seharusnya jam segini masih di sekolah.
"Nggak Om", Jawab anak itu tanpa ekspresi.
"Kenapa kok nggak sekolah?", pertanyaanku sepertinya membuat anak itu tak nyaman dan mulai malu.
"Nggak ada biaya, Om", jawab anak itu sambil cepat-cepat meninggalkan meja kami setelah mendapatkan lembaran uang 1000 dari Andrias.
Aku terhenyak oleh jawaban anak itu. Andai saja janji calon bupati dan calon gubernur yang katanya akan membuat pendidikan gratis benar-benar dilakukan. seharusnya anak penjual koran itu tidak berkeliling menjajakan koran di jam sekolah. Ternyata gratis menurut pemerintah adalah SPP nya saja yang gratis, Yang ternyata hanya senilai 8000 rupiah saja. Tapi selain uang SPP masih banyak lagi yang harus dibayarkan mulai dari buku-buku pelajaran, LKS, kegiatan ekstrakurikuler, Les, seragam sekolah yang bermacam-macam motifnya belum lagi ada iuran komite. Dulu ketika saya masih sekolah selalu berburu buku-buku bekas kakak kelas setiap habis penerimaan rapor kenaikan kelas. karena dahulu buku-buku pelajaran masih bisa dipakai hingga bertahun-tahun berikutnya. Sedangkan sekarang buku-buku pelajaran sekolah selalu berganti tiap tahun dan terkadang harus dibeli ditempat murid itu sekolah. Lucunya lagi, sekarang ini banyak guru-guru yang bertindak sebagai penjual buku pelajaran. Ini tentu saja sangat memberatkan keluarga miskin. Jangankan untuk membayar aneka macam atribut sekolah diatas. Sedangkan untuk bisa makan dengan tahu dan tempe dihari ini saja sudah sangat berat bagi mereka.
Dan kalau saja seluruh masyarakat Indonesia mempunyai kesadaran bahwa anak-anak miskin seperti diatas adalah juga tanggung jawab kita untuk memberdayakan mereka mungkin hal itu akan menjadi jauh lebih baik dibandingkan bila kita hanya menyalahkan pemerintah yang kurang begini dan begitu. Bahwa sebenarnya sudah banyak wadah yang bisa kita pakai sebagai saluran tempat kita untuk membantu memberdayakan saudara kita yang kurang beruntung tersebut, seperti halnya sudah di perintah dalam agama Islam untuk menzakatkan sebagian hartanya minimal 2.5% bila sudah masuk nishafnya. Belum lagi begitu banyak yayasan Yatim piatu, yayasan sosial, ada lagi infaq by request , Gerakan Orang tua Asuh, sampai dengan orang tua asuh by request. Sangat banyak bukan yang sebenarnya bisa dilakukan dari pada sekedar menyalahkan pemerintah yang tidak becus ini dan itu. Dan ada satu lagi tindakan yang seharusnya sangat mudah dilakukan, Jangan pernah memberikan sedekah kepada peminta-minta, pengamen atau apapun itu yang selalu mengharapkan belas kasihan. Karena bila kita memberikan pertolongan dalam bentuk itu, sesungguhnya kita bukan menolong mereka tetapi semakin menjerumuskan mereka kedalam jurang kemalasan, kemanjaan dan semakin terkungkung didalam ketidakmampuannya.
Dan kalau saja setiap orang yang ada dalam kondisi terpinggirkan, terbelenggu dalam kemiskinan dan ketidakmampuannya yang lain, selalu masih punya semangat dan kemauan untuk selalu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Seandainya mereka sadar bahwa hidupnya yang sekarang bukan sebuah guratan nasib untuk selamanya. Jikalau mereka tetap berpikir positif bahwa itu hanyalah sebuah proses yang harus dijalani dan bukan sebuah harga mati sehingga mereka tetap selalu belajar dan berusaha untuk membalikan kondisi hidup yang papa menjadi kehidupan yang lebih baik. Karena belajar tidak selalu dalam dunia formal tapi kita juga bisa belajar dari pengalaman dan jalan hidup yang kita lalui dan selalu berusaha untuk menjadikan saat ini harus lebih baik dari kemarin, serta hari esok lebih baik dari saat ini. Dan selalu berusaha mandiri untuk tidak hanya menggantungkan dari belas kasih dan pertolongan orang lain, tidak selalu mengharapkan pemerintah untuk membuat kebijakan yangi bisa mengankat kemiskinannya. Serta selalu berpikir bahwa kehidupannya adalah tanggung jawabnya sehingga sadar yang bisa merubah hanya diri mereka sendiri.
MAKA.........suatu saat nanti kita tidak akan lagi melihat pemandangan yang sekarang ini banyak terpampang disekitar kita. Sehingga kita akan lebih bangga lagi mengatakan bahwa ini adalah INDONESIA.
No comments:
Post a Comment